Halaman

Jumat, 01 April 2011

Aku Seorang Pengecut

Aku terus mengengkol sepedaku dengan kencang. 10 menit lagi pukul 7. Jika aku tak mengengkol sepedaku dengan laju, maka aku akan terlambat. Waktu yang ditempuh dari tempatku saat ke sekolah memakan waktu 15 menit. 10 menit lagi bel masuk berbunyi.

Keadaan di jalan raya sangat padat. Lalu lalang kendaraan tak henti-hentinya. Beragam macam karakter orang yang berlalu lalang. Akhirnya, aku tiba di perempatan jalan.

“Mampus aku. Lampu merah pula. Gawat waktuku terbuang.” Aku semakin kesal.

Di pinggir jalan kulihat seorang kakek tua ditodong oleh 2 orang perampok. Mereka yang berlalu lalang di sekitar kejadian pura-pura tak melihat. Aku ingin menolong kakek itu, tetapi…… lampu hijau tiba-tiba menyala.

Aku segera memacu sepedaku lebih laju lagi. Kuurungkan niatku menolong. Aku takut dihukum guru karena terlambat. Entah bagaimana nasib si kakek. Aku mencoba melupakannya. Anggap saja aku tak melihat kejadian itu.

Aku tiba di sekolah tepat pukul 7. Untunglah tak terlambat. Luar biasa….aku mampu memacu sepedaku dengan kencang.

“Robert, cepat berlari! Gerbang akan segera ditutup. “Teriak satpam.

Aku berlari ngos-ngosan. Setiba di kelas, aku bernapas lega karean guru jam pertama belum masuk ke kelas.

Teng…teng…teng…
Bel istirahat berbunyi. Kulihat Mona menenteng tasnya sambil menangis. Aku menghampirinya.

“Mau kemana, Mon?” tanyaku penasaran. Mona ini sahabat karibku sejak TK. Kami berteman sangat akrab.

“Aku dijemput papaku, Bert. Kata papa kakekku masuk RS Antonius karena kepalanya terbentur di aspal. Pagi tadi kakek diserang 2 orang perampok. Kakek memberontak, sehingga terjadi tarik menarik. Kakek akhirnya terjatuh dan terhempas di aspal.
Sejenak aku terdiam. Apa mungkin kakek tadi adalah kakek Mona?

“Di mana kejadiannya?” tanyaku untuk memastikan.
“Di perempatan jalan sekitar jam 7 kurang.”

Aku tertunduk lesu. Ternyata, aku seorang pengecut.

“Kakek itu, kakek sahabatku Mona. Maafkan aku Mona.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar