Halaman

Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 April 2011

Aku Seorang Pengecut

Aku terus mengengkol sepedaku dengan kencang. 10 menit lagi pukul 7. Jika aku tak mengengkol sepedaku dengan laju, maka aku akan terlambat. Waktu yang ditempuh dari tempatku saat ke sekolah memakan waktu 15 menit. 10 menit lagi bel masuk berbunyi.

Keadaan di jalan raya sangat padat. Lalu lalang kendaraan tak henti-hentinya. Beragam macam karakter orang yang berlalu lalang. Akhirnya, aku tiba di perempatan jalan.

“Mampus aku. Lampu merah pula. Gawat waktuku terbuang.” Aku semakin kesal.

Di pinggir jalan kulihat seorang kakek tua ditodong oleh 2 orang perampok. Mereka yang berlalu lalang di sekitar kejadian pura-pura tak melihat. Aku ingin menolong kakek itu, tetapi…… lampu hijau tiba-tiba menyala.

Aku segera memacu sepedaku lebih laju lagi. Kuurungkan niatku menolong. Aku takut dihukum guru karena terlambat. Entah bagaimana nasib si kakek. Aku mencoba melupakannya. Anggap saja aku tak melihat kejadian itu.

Aku tiba di sekolah tepat pukul 7. Untunglah tak terlambat. Luar biasa….aku mampu memacu sepedaku dengan kencang.

“Robert, cepat berlari! Gerbang akan segera ditutup. “Teriak satpam.

Aku berlari ngos-ngosan. Setiba di kelas, aku bernapas lega karean guru jam pertama belum masuk ke kelas.

Teng…teng…teng…
Bel istirahat berbunyi. Kulihat Mona menenteng tasnya sambil menangis. Aku menghampirinya.

“Mau kemana, Mon?” tanyaku penasaran. Mona ini sahabat karibku sejak TK. Kami berteman sangat akrab.

“Aku dijemput papaku, Bert. Kata papa kakekku masuk RS Antonius karena kepalanya terbentur di aspal. Pagi tadi kakek diserang 2 orang perampok. Kakek memberontak, sehingga terjadi tarik menarik. Kakek akhirnya terjatuh dan terhempas di aspal.
Sejenak aku terdiam. Apa mungkin kakek tadi adalah kakek Mona?

“Di mana kejadiannya?” tanyaku untuk memastikan.
“Di perempatan jalan sekitar jam 7 kurang.”

Aku tertunduk lesu. Ternyata, aku seorang pengecut.

“Kakek itu, kakek sahabatku Mona. Maafkan aku Mona.”

Selasa, 29 Maret 2011

April Mop

     "Ra, masih lama, ya?" suara Cindy terdengar lemah di HP-ku.
     "Tunggu, bentar lagi, Cin! Dosennya belum keluar. Gila... pak tua ini masih asyik ngoceh padahal udah bel pulang." sahutku berbisik.
      "Aku buru-buru, Ra. Mau cari buku di toko buku Gradenia."
      "Ya, udah kamu pergi aja dulu sendiri. Kamu cari buku yang mau kamu beli. Ntar, aku nyusul, deh. Setelah itu, kita ke Mega Mall beli tiket film "Ghost or Angel."
      "Oke, aku tungggu di toko buku Gradenia. Jangan lama-lama ya, Ra!"
      "Oke."
      Kasian Cindy. sudah satu jam ia menungguku di taman Kampus. Mata kuliahku hari ini 4 SKS, makanya lama. Bosan. Tapi, lebih membosankan jika aku harus menemani Cindy ke toko buku. Perutku mual jika melihat banyak buku.
      "Kita akhiri sampai di sini. Jangan lupa tugas karya ilmiahnya." kalimat terakhir Pak Anwar, Dosen Kritik Sastra membuatku loyo. Tugas lagi, malas aku. Jika tugasnya disuruh buat cerpen satu buku, pasti aku orang pertama yang kumpul sebelum waktu.
      Aku melangkah menuju toilet.
      Tiba-tiba....
       "Ra.... Ra... mobilmu di bawa kabur orang tak dikenal." Dion ngos-ngosan berlari ke arahku.
       "APA?!!!" aku segera berlari menuju tempat parkir mobil. Seperti di kejar anjing. Jantungku berdetak kencang.
       "Itu kan mobil papa. Mampus aku....!" akhirnya, aku tiba di tempat parkir mobil.
       "Mat April Mop." terdengar teriakan kompak. Mereka menertawakanku. Kulihat tawa puas di wajah Dion yang pernah aku kerjain April Mop taun lalu.
       Aku tertunduk lemas.
       Tit...tulilit...tit...tit...tulilit...
       Buru-buru segera kusambut panggilan cindy.
       "Halo, Cin!"
       "Ra, lama banget, sih?"
       "Oya, masih di toko buku Gradenia, ya?"
       "Iya, aku lapar, Ra. kamu cepat datang, ya. Aku udah selesai beli buku." suara Cindy lemas.
       "Yo,i...Wait me, say!" Sahutku so jago english.
       tut.....tut....tut... sambungan terputus.
       "O, iya... kan April map. Aku mau ngerjain Cindy, deh. Balasan taun lalu."
       Aku menyetir mobilku. Bukan menuju toko Gradenia, tetapi menuju rumahku. Aku berencana ngerjain Cindy. Aku sengaja membuat ia menunggu lama. Ketika ia menelpon aku akan mengucapkan salam April map padanya. Ia pasti ngamuk.
       Aku tiba di rumah. Kurebahkan tubuhku di ranjang. Aku terlelap.
      tulilit.....tililit...tit....tut....tit...  ponselku berdering.
       Aku kaget. Panggilan dari Cindy.
      "Hali, Cin....Ha...ha...ha...ha..." Aku melepas tawaku.
      "Halo, Ra....tolongin aku Ra.... Aku terjebak di dalam lift. Tadi tiba-tiba saja ada ledakan bom. Kami masuk ke lift untuk turun ke lantai dasar. Aku.......aku....ta....."
     Suara Cindy tak jelas lagi. Kini terdengar suara ledakan dan teriakan ketakutan. Aku merinding. Panik.
     "Halo...Cin.... Cindy.... kau dengar aku, kan?" aku panik bukan main.

     "Ra....sakit..."
    Tit....tit...tit  sambungan terputus.
    "Halo....halo...halo, Cin...!"

     Aku segera menyetir mobilku menuju toko buku Gradenia. Sebelumnya aku sempat menelpon orang tua Cindy.
     Tubuhku seakan mati. Lidahku kelu ketika melihat bangunan itu sudah menjadi puing-puing bara api. Hancur berantakan bersatu dengan tanah. Aku berlari sambil menyeret tangis menghampiri korban-korban yang dievakuasi. Aku berharap menemukan Ciny yang masih bernyawa. Kulihat banya tubuh tanpa nyawa dan rupa lagi. Terdengar jerit tangis korban yang wajahnya tak lagi dapat dikenali.
     Aku tersungkur kelu melihat sosok tanpa rupa terbaring kaku. Di bagian pinggang sampai ujung kaki masih dapat dikenali, namun wajah dan tubuhnya hangus terbakar. Aku tau, ini Cindy. Perih rasanya hatiku melihat gelang di kaki korban yang sama dengan gelang yang kupakai di pergelangan kakiku.
      "Maafkan aku, Cin. Seandainya aku tak membiarkanmu amenunggu lama. Seandainya waktu dapat kuulang."
     Hatiku semakin hancur melihat jerit tangis Mama Cindy ketika melihat rupa tragis anak satu-satunya.

Berenang Phobia

           “Ayo, Zeni. Asyik, kok. Nggak dalem. Beneran, deh.” Rens berteriak memanggilku mencoba meyakinkan aku kaluau kolam itu tak dalam. Tetap saja aku takut berenang. Aku takut tenggelam.” Aku seperti anak-anak yang hanya berani berenang di bak mandi. Saat ini usiaku 17 tahun. 7 tahun lamanya aku takut berenang.
           “Ayolah, Zeni. Temani aku berenang…!”
Aku geleng-geleng kepala. Kejedian tujuh tahun lalu muncul kembali.

7 tahun yang lalu…
         “Papa…..a… Mama…a….Kakak….” aku berteriak sekuat tenaga berharap ada yang menolongku. Aku hampir tenggelam. Napasku mulai sesak.
        “Toloooong, papa…..mama…..toloooong…kakak…..” aku berteriak untuk yang terakhir kali sampai akhirnya semua menjadi sunyi dan gelap.
***
        Aku tersadar dari kejadian silam. Kuhapus keringat di wajahku dengan handuk kecilku.
       “Rentz, aku pulang duluan, ya.” Kulambaikan tanganku kea rah Rents yang masih asyik berenang.
       “Zeni, tunggu aku. Kita barenang pulangnya.” Rentz segera keluar dari air ketika melihat aku mulai beranjak. Aku mengambil tasku di loker penitipan sambil menunggu Rentz berganti pakaian.
       “Oke, ayo kita cabut.” Rentz menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya yang tampak cerita. Senyum Rentz sangat manis.
Aku bangkit dan segera beranjak menghampiri Rentz.
      “Maaf Zen tadi aku memaksamu untuk menemaniku berenang. Kamu marah, ya?”
Aku geleng kepala.
     “Aku hanya ingin mengembalikanmu speti dulu. Zeni yang suka berenang. Zeni yang pernah dapat juara 3 lomba berenang.” Rentz mencoba memberiku semangat.
     “Aku tau kejadian itu masih menghantuimu sehingga membuatmu trauma. Sampai kapan kau akan seperti ini? Kata dokter traumamu bisa pulih jika kamu berusaha bangkit dari rasa takutmu.”
***
       Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Pikiranku melayang. Entah akan berlabuh kemana. Batinku tak tenang ketika kejadian itu mulai muncul. Kalimat Rents tadi menghantui pikiranku.
      “Apa aku bisa?" Kupejamkan mataku yang sudah mulai lelah hingga akhirnya aku terlelap.
       “Papa…….mama…a….. toloooong…..Kakaka……tolooong….”
Aku mulai gelisah. Teriakan itu membuat batinku tak tenang dalam alam tak sadarku. Teriakan itu mulai jelas.
     “Papa…a….mama…..tolooooooong….kak Zeni….i…i…”
Aku tersentak kaget. Aku tersadar dari alam tidurku. Memori otakku kembali normal. Teriakan itu sangat jelas. Itu adalah suara Dina, adik bungsuku yang berusia 6 tahun.
Aku segera berlari mencari sumber suara. Saat itu papa dan mama belum pulang dari kantor. Kak Dito belum pulang sekolah. Jadi hanya ada aku, adik, dan bibi.
Tepet di kolam renang. Kulihat Dina timbul tenggelam sambil menepuk-nepuk air berusaha berenang. Kejadian 7 tahun lalu muncul kembali. Aku terpaku diam, kaku tak mampu berkata.
    “Kak Zeni tolong!” psuara itu mulai lemas dan sepi. Tak lagi kulihat Dina di sana. Tanpa sadar aku langsung terjun dan menarik tubuh Dina ke tepian kolam. Aku mengangkat tubuh adikku yang sudah terbujur kaku. Denyutnya lemah. Sekujur tubuhnya pucat
      “Adik….bangun….dik, bangun sayaaaang… kak Zeni sudah ada di dekat adik. Kakak sayang sama Dina. Jangan tinggalin kakak”
Aku menggoyang-goyang tubuh Zeni. Tak ada reaksi. Aku menyesal telah membiarkan Dina tenggelam
      “Mamaaaaaa…..” aku berteriak. Sepi dan semua menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.
***
Aku membuka mataku. Menatap mengitari sekeliling ruangan. Aku sudah berada di kamarku. Kulihat papa, mama, dan Kak Dito di dekatku. Mereka menangis. Aku kembali mengingat kejadian sebelumnya.
     “Dina…..” aku menangis perih.
“Iya, kak. Dina di sini. Dina juga sayang sama kakak.” Dina tiba-tiba muncul dari pintu kamarku. Kulihat wajahnya masih pucat. Ia berjalan ke arahku dan memelukku hangat.
     “Syukurlah… kakak tak akan sanggup jika harus kehilanganmu.”
***

Minggu, 27 Maret 2011

Penyesalan 27 Juli

Penyesalan 27 Juli

Luka yang paling dalam adalah ketika kita mengalami ‘kehilangan’.
Kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Kehilangan kasih, canda tawa, senda gurau. Yang paling menyakitkan ketika kata ‘maaf’ belum tersampaikan. Menangislah, jika aku harus menangis.

Tiga tahun yan lalu…
Pontianak, 20 Juli 2006
           “Trimakasih, Kak Adit! Layang-layangnya bagus banget. Waaaah…ada ukiran namaku dan lukisan wajahku.” Aku berteriak girang. Kulabuhkan sebuah pelukan hangat ke tubuh Kak Adit yang tinggi.
          “layang-layang ini sengaja kakak buat sendiri sebagai hadiah ulang tahun adikku yang manis ini.” Kak Adit mencium keningku. Sumpah. Aku seneng banget.
         “Layang-layangnya dirawat dan dijaga, yah! Janji?!”
         “Janji kak!”

Pontianak, 27 juli 2009
          Kutatap layang-layang kesayanganku. Layang-layang pemberian Kak Adit. Namaku Caroline, panggilan Carol. Aku suka bermain layang-layang walaupun aku bukan laki-laki. Setelah lelah bergumul dengan alam pikirku, aku kembali memajangnya di dinding kamar sederetan dengan koleksi layang-layangku yang lain. Ini layang-layang ke-7 dan terakhir setelah peristiwa buruk itu. Yang terakhir ini paling berharga dan bersejarah.
         “Happy birthday, Kak Adit. Smoga kau tenang di sana di nirwana yang indah.”
Sebenarnya aku benci hari ini. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Alam pikirku kembali ke masa tiga tahun yang lalu.

Tiga tahun yang lalu…
Pontianak, 27 Juli 2006
        “Kak Adit pasti suka dengan hadiah yang kuberikan ini. Kak Adit kan suka melukis. Waaah, nggak kebayang wajah senangnya ketika membuka kado ini.” Aku senyum-senyum sendiri di kamarku setelah menyelesaikan bingkisan kado buat Kak Adit.
Hari ini Kak Adit berulang tahun yang ke-17, Sweet seventy. Hari ulang tahunku dan Kak Adik berjarak hanya 7 hari.
         Sudah pukul 3 sore. Aku sudah tak sabar menunggu Kak Adit pulang sekolah. Sekarang mungkin Kak Adit sedang dalam perjalanan pulang. Ia pulang sendiri menggunakan sepeda motor.
Kulirik jam dinding yang ada di ruang keluarga. Pukul18.35. Saat ini Papa, Mama, dan aku (O ya, masih ada Bi Ratih, wanita separuh baya yang bekerja di rumahku selama 30 tahun) menunggu kedatangan Kak Adit. Kami sudah menyiapkan kejutan untuknya. Mama dari pagi menyiapkan semuanya dibantu oleh Bi Ratih. Masakan yang lezat dan kue-kue sudah terhidang di atas meja makan.
        Pukul 19.22. Kak Adit belum juga pulang. Aku masih memeluk kado yang kupersiapkan sejak semalam. Papa sibuk menelpon HP Kak Adit yang sejak tadi mailbox. Kulihat Mama mondar-mandir tak tenang menunggu sosok Kak Adit. Raut khawatit menyelimuti parasnya. Seharusnya, hari ini kakak pulang jam 3 sore.
        Kring….kring….kring….. Tiba-tiba telepon rumah berdering.
        Mama segera berlari mengangkat telepon. Kulihat wajahnya begitu gusar.
       “Halo, selamat malam.” Sapa mama.
       “Ya benar. Ada apa ya? Ini siapa?” raut panik berlipat-lipat di kening mama.
       “Apa…?? Tidak mungkin, Pak…!” mama berteriak. Kami semua terhentak kaget mendengar teriakan mama. Aku, papa, bibi segera menghampiri mama.
       “Di mana kejadiannya, Pak? Bagaimana keadaan a..a..anak saya?” mama menangis tersedu. Aku ikut menangis. Aku tau hal buruk menimpa Kak adit. Oh, tidak. Aku tak yakin.
        “Baik, pak. Kami segera ke sana……iya…..trima kasih….malam..” mama terpaku. Ia tak mampu lagi berkata.
        Aku begitu hancur ketika mama mengatakan Kak Adit kecelakaan. Ia di tabrak truck yang bermuatan kayu. Ternyata sopir truck itu dalam keadaan tertidur, ia tak melihat motor Kak Adit yang berhenti di lampu merah. Menurut cerita, bukan hanya Kak Adit yang menjadi korban. Banyak sekali, diantaranya juga ada Kak Gerald. Teman akrab Kak Adit sejak TK. Sampai sekarang mereka sekelas.
Kami semua berkumpul di depan ruang ICU menunggu informasi dari dokter mengenai keadaan Kak Adit. Kabar yang kami dengar terakhir, Kak Adit mengalami pendarahan di otak akibat benturan kuat di aspal jalan. Kulihat Kak Gerald bersama orang tuanya. Ternyata ia baik-baik saja hanya mengalami luka ringan dan benturan ringan di kepala. Syukurlah. Tapi, aku masih menangis. Rasanya aku ingin berteriak pada Tuhan untuk tidak mengambil nyawa Kakakku.
Aku berlari keluar dari ruangan menuju toilet.
      “Tuhan, Carol mohon jangan ambil nyawa Kak Adit. Carol belum siap, Tuhan. Carol belum sempat kasi kado ini ke Kak Adit. Beri kak Adit kesempatan hidup, ya. Amin.” Aku meneteskan air mata.
Aku kembali ke ruang ICU. Rasanya kakiku berat melangkah ketika melihat mama menangis di pelukan papa. Semua menangis… Kak Gerald juga. Apa yang terjadi?
     “Mama…” aku menghampiri mama. Mama berlari ke arahku dan merangkul aku. Ia terus menangis.
     “Carol… Kak Adit sudah pergi. Pergi untuk selama-lamanya.” Bisik mama.
Aku rapuh. Kelu tak mampu lagi berkata. Menangis pun tidak. Semua tiba-tiba menjadi

27 Juli 2009
      “Carol Kak Gerald datng.” Aku terjaga dari tidurku mendengar suara mama di depan kamarku. Aku segera bangkit keluar menuju beranda rumah. Kulihat Kak Gerald duduk sambil membaca komik terbarunya yang dibeli kemarin.
       Kami berbincang-bincang di beranda rumah. Tawa mewarnai perckapn kami. Kak Gerald sangat pandai membuatku tertawa. Ia terus mengerak-gerakkan tangannya.
      “Trima kasih Kak Gerald. Kakak bersedia menemani Carol semenjak kepergian Kak Adit. Kakak pengganti Kak Adit sebagai penjagaku.” Kupeluk Kak Gerald seolah-olah memeluk Kak Adit. Aku mengerti perasaan Kak Gerald saat itu.ia juga sangat terluka kehilangan sahabat baiknya. Oleh karena itu, aku tau dengan cara melindungiku ia merasa telah menjalankan amanat Kak Adit yang tak sempat tersampaikan. Ini tahun ketiga sejak kepergian Kak Adit. Sebenarnya aku benci hari ini.
Kak Gerald menggerak-gerakan tangannya (bahasa isyarat). Aku belum menceritakan bahwa Kak Gerald sekarang bisu. Akibat kecelakaan itu, ia tak lagi dapat bicara. Pita suaranya rusak akibat luka di leher.
     “Iya, Kak. Aku janji nggak akan sedih lagi.” Sahutku. Aku mengerti maksud bahasa isyarat kak Gerald. Ia memintaku untuk tidak bersedih lagi. Katanya ia akan slalu menjagaku. Kak Gerald pamit pulang padaku. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Rumah kelima jika dihitung dari rumahku.
     “Hati-hati di jalan, Kak! Jangan lupa besok hari Minggu temani Carol main layang-layang, ya.”
Kak Gerald mengacungkan jempolnya.
      Hari Minggu tiba. Aku dan Kak Gerald bermain-main layang-layang di taman bermain kompleks perumahan kami. Hari ini aku membawa layang-layang pemberian Kak Adit. Kami asyik bermain layang-layang. Aku mengajak Kak Gerald bertukar layang-layang. Aku memainkan layang-layangnya, sedangkan Kak Gerald memainkan layang-layangku.
      “Kak, Carol pamit cuci tangan di sungai itu, ya.” Aku menurunkan layang-layang Kak Gerald, sedangkan ia masih memainkan layang-layangku.
Kak Gerald mengangguk. Ia menggerak-gerakkan tangannya.
      “Iya, Kak… Carolakan berhati-hati dan nggak berlama-lama, kok.” Sahutku sambil berlalu menuju sungai.
        Setelah mencuci tnganku, aku kembali ke taman bermain. Alam berubah menjadi gerimis. Dikejauhan kulihat Kak Gerald sedang berusaha menarik-narik layang-layangku. Ia terlihat panic. Angin terlalu kuat. Hingga akhirnya…… oh, tidak… layang-layang pemberian Kak Adit putus dan terbang entah kemana jatuhnya. Aku berlari sekuat tenaga mengikuti layang-layangku. Kuliahat Kak Gerald berlari menyusul. Ternyata tersangkut di pohon yang sangat tinggi. Hujan masih gerimis, walau agak sedikit reda. Kak Gerald berhenti di sampingku. Aku menatap tajam ke arahnya.
       “Kak Gerald jahat. Kakak membuat aku kehilangan kembali Kak Aditku. Kakak membuat aku gagal memenuhi janjiku kepada Kak Adit. Aku menyesal pernah mengenal Kakak.” Aku berlalu pergi. Kak Gerald mengejarku. Ia menggerak-gerakkan tangannya. Ia berusaha mencegahku pulang sendiri. Aku tak mau tau lagi.
      “Jangan pernah muncul di kehidupanku lagi. SELAMANYA!!” KAK Gerald terpaku. Ia tertunduk sedih dan tak lagi berusaha mengejarku.
***



     Alarmku berbunyi. Aku segara mandi dan mengenakan seragamku. Rasanya kepalaku pusing dan aku masih ngantuk berat. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan layang-layang Kak Adit. Rasanya ingin berteriak. Rasa benciku kepada Kak Gerald semakin kuat. Aku tak mau bertemu dengannya lagi. Aku ingin ia pergi dari kehidupanku selamanya.
     Setelah semua beres, aku turun ke ruang makan untuk sarapan. Mama telah menyiapkan sarapan untuk aku dan papa. Mama dan papa saling melirik, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan padaku, tetapi tertahan. Dan sepertinya mereka berdua berselisih untuk menyampaikannya, dan keduanya tampak sama-sama tak berani menyampaikan. Aku pura-pura tak peduli.
     “Carol, ini ada layang-layang Kak Adit.” Kata mama menyerahkan layang-layang kesayanganku yang agak sedikit luntur.
    “Kok, bisa ya, ma? Padahal kemarin nyangkut di pohon. Pohonnya tinggi banget sampai menjulur ke tiang listrik. Siapa yang memberikannya, ma?”
    “Mama Gerald, ia juga menitipkan surat ini padamu.”
    “Oke. Trims, Ma. Aku tau pasti Kak Gerald yang memanjat pohon itu. Aku mau minta maaf sama Kak Gerald karna udah marain dia kemarin.” Aku tersenyum, kemudian segera berlari.
     “Pa, tunggu bentar, ya. Mau ketemu Kak Gerald dulu mau minta maaf dan ngucapin trims sama dia. Sebantar ya, ma.” Buru-buru aku pergi sampai tak menghiraukan mama yang berlari mencegahku.
Akhirnya, sampai di rumah Kak Geral. Aku melihat di rumahnya sangat ramai.
    “Kenapa semua berseragam hitam? Seperti sedang berkabung. Oh…tidak, jangan-jangan mama Kak Gerald meninggal. Tapi, kan kata mama tadi dia ada datang ke rumuh kasi surat dan layang-layang itu.” Aku masih bergelut dengan alam pikirku yang belum terjawab. Aku segera berlari masuk ke rumah itu. Dan mendekati kerumunan yang sedang duduk mengitari jenazah. Ntah jenazah siapa.
     “Oh…tidah. Itu kan Kak Gerald.” Aku menangis hancur. Semua mata tertuju padaku. Papa Kak Gerald mendekatiku.
     “Apa yang terjadi, om?”
    “Kak Gerald tersetrum listrik ketika memanjat pohon di taman kompleks kita.”
Aku terkaku. Sepi. Semua menjadi begitu gelap.
***
      Aku membuka mataku walau masih agak sedikit berat. Kumemandang ke seliling ruangan. Aku sudah berada di kamarku. Aku kembali mengingat kejadian sebelum aku pingsan tadi. Kata papa Kak Gerald, Kak Gerald tersetrum ketika hendak turun karena pohon itu terkena aliran listrik. Ia sempat dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Ia sempat melewati masa kritis. Ia menulis surat utukku. Setelah menulis surat, ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Air mataku tak terbendung.
      Aku meraba-raba saku seragamku. (aku tak jadi ke sekolah. Aku yakin orang tuaku sudah mengabari pihak sekolah) mencari sesuatu. Yah..surat dari Kak Gerald yang ditulis di rumah sakit sebelum dia menghembuskan napas terakhir.

          Untuk adikku, Caroline
          Carol, maafkan kakak. Kakak tak sengaja merusak layang-layangmu.
          Ketika kamu meninggalkan kakak, kakak sangat khawatir karena kamu belum juga datang.     
          Kakak khawatir hal buruk terjadi padamu di sungai karena kamu tak bisa berenang.
          Seandainya kakak bisa berteriak kakak akan memanggilmu. Konsentrasi kakak tertuju padamu
          sehingga tak menyadari layang-layang itu sudah tersangkut di ranting-ranting pohon.
         Maafkan kakak karena telah membuat kamu terluka. Kakak telah gagal membuatmu bahagia.

      “Kak Gerald……………!” aku berteriak sekuat tenaga.
     “Maafkan Carol, Kak. Sekarang Carol sendiri. Siapa yang akan menemani Carol lagi?” Aku menutup mataku, terluka. Sangat dalam. Aku benar-benar benci hari ini.
***