Halaman

Selasa, 29 Maret 2011

Berenang Phobia

           “Ayo, Zeni. Asyik, kok. Nggak dalem. Beneran, deh.” Rens berteriak memanggilku mencoba meyakinkan aku kaluau kolam itu tak dalam. Tetap saja aku takut berenang. Aku takut tenggelam.” Aku seperti anak-anak yang hanya berani berenang di bak mandi. Saat ini usiaku 17 tahun. 7 tahun lamanya aku takut berenang.
           “Ayolah, Zeni. Temani aku berenang…!”
Aku geleng-geleng kepala. Kejedian tujuh tahun lalu muncul kembali.

7 tahun yang lalu…
         “Papa…..a… Mama…a….Kakak….” aku berteriak sekuat tenaga berharap ada yang menolongku. Aku hampir tenggelam. Napasku mulai sesak.
        “Toloooong, papa…..mama…..toloooong…kakak…..” aku berteriak untuk yang terakhir kali sampai akhirnya semua menjadi sunyi dan gelap.
***
        Aku tersadar dari kejadian silam. Kuhapus keringat di wajahku dengan handuk kecilku.
       “Rentz, aku pulang duluan, ya.” Kulambaikan tanganku kea rah Rents yang masih asyik berenang.
       “Zeni, tunggu aku. Kita barenang pulangnya.” Rentz segera keluar dari air ketika melihat aku mulai beranjak. Aku mengambil tasku di loker penitipan sambil menunggu Rentz berganti pakaian.
       “Oke, ayo kita cabut.” Rentz menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya yang tampak cerita. Senyum Rentz sangat manis.
Aku bangkit dan segera beranjak menghampiri Rentz.
      “Maaf Zen tadi aku memaksamu untuk menemaniku berenang. Kamu marah, ya?”
Aku geleng kepala.
     “Aku hanya ingin mengembalikanmu speti dulu. Zeni yang suka berenang. Zeni yang pernah dapat juara 3 lomba berenang.” Rentz mencoba memberiku semangat.
     “Aku tau kejadian itu masih menghantuimu sehingga membuatmu trauma. Sampai kapan kau akan seperti ini? Kata dokter traumamu bisa pulih jika kamu berusaha bangkit dari rasa takutmu.”
***
       Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Pikiranku melayang. Entah akan berlabuh kemana. Batinku tak tenang ketika kejadian itu mulai muncul. Kalimat Rents tadi menghantui pikiranku.
      “Apa aku bisa?" Kupejamkan mataku yang sudah mulai lelah hingga akhirnya aku terlelap.
       “Papa…….mama…a….. toloooong…..Kakaka……tolooong….”
Aku mulai gelisah. Teriakan itu membuat batinku tak tenang dalam alam tak sadarku. Teriakan itu mulai jelas.
     “Papa…a….mama…..tolooooooong….kak Zeni….i…i…”
Aku tersentak kaget. Aku tersadar dari alam tidurku. Memori otakku kembali normal. Teriakan itu sangat jelas. Itu adalah suara Dina, adik bungsuku yang berusia 6 tahun.
Aku segera berlari mencari sumber suara. Saat itu papa dan mama belum pulang dari kantor. Kak Dito belum pulang sekolah. Jadi hanya ada aku, adik, dan bibi.
Tepet di kolam renang. Kulihat Dina timbul tenggelam sambil menepuk-nepuk air berusaha berenang. Kejadian 7 tahun lalu muncul kembali. Aku terpaku diam, kaku tak mampu berkata.
    “Kak Zeni tolong!” psuara itu mulai lemas dan sepi. Tak lagi kulihat Dina di sana. Tanpa sadar aku langsung terjun dan menarik tubuh Dina ke tepian kolam. Aku mengangkat tubuh adikku yang sudah terbujur kaku. Denyutnya lemah. Sekujur tubuhnya pucat
      “Adik….bangun….dik, bangun sayaaaang… kak Zeni sudah ada di dekat adik. Kakak sayang sama Dina. Jangan tinggalin kakak”
Aku menggoyang-goyang tubuh Zeni. Tak ada reaksi. Aku menyesal telah membiarkan Dina tenggelam
      “Mamaaaaaa…..” aku berteriak. Sepi dan semua menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.
***
Aku membuka mataku. Menatap mengitari sekeliling ruangan. Aku sudah berada di kamarku. Kulihat papa, mama, dan Kak Dito di dekatku. Mereka menangis. Aku kembali mengingat kejadian sebelumnya.
     “Dina…..” aku menangis perih.
“Iya, kak. Dina di sini. Dina juga sayang sama kakak.” Dina tiba-tiba muncul dari pintu kamarku. Kulihat wajahnya masih pucat. Ia berjalan ke arahku dan memelukku hangat.
     “Syukurlah… kakak tak akan sanggup jika harus kehilanganmu.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar