CONEKNG
(TESTIMONI MISTERI PELET DAYAK KANAYATN)
Oleh: Agustin Flaviyana, S.Pd.
Ini bukan lelucon. Empat tahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMA, seorang gadis berperawakan tinggi kerempeng dengan dada kecil datang ke rumah sambil menyeret sisa tangis.
Namanya De, Desember tahun ini ia genap berusia 22 tahun. De adalah temanku, walau kami tak begitu akrab. Rambutnya yang panjang dan jarang diikat member kesan feminism pada yang melihat. Satu hal yang unik dari gadis ini, dia sesalu membawa tas setiap berpergian.
Malam itu ia menemuiku dengan wajah gusar dan mata sedikit sembab.
“Padahal sebelumnya aku tak menyukainya.”
Mata De menerawang jauh, tatapannya gelap menabrak malam. Wajahnya tampak begitu pekat.
Aku masih diam belum mengerti apa yang terjadi. De hanya mengatakan sesuatu dalam dirinya sedang bergejolak. Akibatnya, makan pun tak enak, tidur pun tak nyenyak. Semakin lama, wajahnya semakin gelisah.
Ada apa? Aku mengerutkan kening, tak mengerti. Aku merubah posisi duduk, lebih dekat dengannya, menanti kalimat selanjutnya
Hening, padahal malam belum begitu larut. Tapi di luar sudah sepi. Maklumlah, listrik padam, hujan gerimis pula. Hawa dingin membuat orang-orang terlanjur merapat ke balik selimut dan malas untuk keluar lagi. Sementara kami baru memulai percakapan di beranda rumah.
Pasti tak ada yang lebih enak selain tidur. Kecuali ada hal yang sangat luar biasa, seperti yang dialami De.
Mulut gadis itu kembali terbuka, menyemburkan sesuatu yang membuat aku terperangah.
“Pasti aku diguna-gunai. Buktinya setiap saat aku selalu teringat padanya. Pasti ia memasukkan sesuatu di mangkuk baksoku.”
De menceritakan terakhir bertemu dengan pemuda itu, seminggu sepekan lepas.
“Dia mentraktirku semangkuk bakso di kantin sekolah,” ujarnya. Ia menatapku nanar, menunggu reaksi.
“O…” sahutku. Barulah aku mengerti. Aku hampir cekikikan. Tapi kutahan saja.
“Hari gini masih percaya sama yang begituan.” Pikirku dalam hati.
De mengaku, tiap saat, tiap waktu, dan kemana pun ia melangkah wajah pemuda teman sekolahnya it uterus terbayaang. Ingin bertemu, rindu noek-noek (menggangu) yang melampaui batas. Barangkali seperti rasa haus yang tak tertahan!
“Apa kau tau penawarnya? Aku begitu tersiksa jika terus terkenang.”
De mengeluh ia tampak sangat menderita.
“Mungkin aku tau sedikit,” sahutku sekenanya. Padahal aku tak begitu yakin.
“Kamu terkena conekng atau yang biasa disebut ‘Pelet’!”
De mengerutkan dahinya.
***
Conekng atau pelet bahasa lainnya adalah ilmu pengasihan suatu daya magis yang membuat orang yang dipelet tergila-gila dan ‘jatuh cinta’ kepada pengguna. Orang Dayak Iban menyebutnya Jayau, sedangkan Dayak Kanayatn menyebutnya Conekng. Aku pernah mendengar kakekku bercerita tentang ilmu magic yang satu ini.
Seorang peneliti jebolan Universiti Kebangsaan Malaysia, Dr. Hermansyah pernah menulid tesis dan disertasi tentang magi Ulu Kapuas. Diantaranya membuat kajian tentang kearifan lokal masyarakat Melayu Kapuas Hulu yang memiliki cuca’ atau jampi-jampi demikian.
Aku memutar memoriku ke tiga tahun silam. Pada percakapan dengan kakekku. Itu dikenal sebagai para normal atau dukun paboreatn. Yaitu orang yang memiliki keahlian orang sakin dengan cara babore balenggang (ritual pengobatan tradisional Dayak Kanayatn). Saat mengobati si sakit, kakek membaca mantranya diiringi tetabuhan yang berasal dari dau (gong-gong kecil), tawak (gong besar), dan solekng (suling).
Orang kampong memanggil kakekku Nek Usu. Nama lengkapnya adalah Yohanes Uncokng. Orang Dayak Kanayatn menyebut kakek atau nenek dengan sebutan Nek, lantas diikiti namanya. Misalnya Nek Baruakng Klub, Nek Bagas, Nek Mangku, Nek Toto’ dan lain-lain. Sama dengan masyarakat Dayak Kayaan Mendalam yang menyebut kakek dan nenek dengan sebutan Uku’. Nek Usu usianya sejitar 75 tahun. Dia cukup punya nama di desa Lingga, masih daerah Kecamatan Sungai Ambawang.
Suatu hari kakek menjelaskan kalau conekng adalah sejenis ritual yang dilaksanakan dengan tuuan membuat pria atau wanita yang diinginkan menjadi tertarik dan tergila-gila pada panyonekng. Panyonekng adalah orang yang memakai conekng untuk memelet. Masih menurut Nek Usu, conekng tidaklah berbahaya bagi nyawa seseorang, ritual ini hanya membuat seseorang menglami kerinduan hebat dan gelisah.
“Conekng nang lazim urakng kanal, khususnya urakng diri Dayak Kanayatn, conekng nang make mantra (jampi-jampi). Sabanarnya ada ugak conekng nang nana meke mantra. Cuma make ‘paribuh-paribuh’ koihan. Make cara pelaksanaan nang khusus. Palaksanaannya malam Jumat. Nana mulih malam lain,” terang Nek Usu.
Meski pandai berbahasa Indonesia, tetapi jika berbicara kepada cucu-cucunya dan orang sekampung, Nek Usu selalu menggunakan bahasa daerah. Jika diterjemahkan,
“Conekng yang sering orang kenal, khususnya orang kita Dayak Kanayatn adalah conekng yang menggunakan mantra. Sebenarnya ada juga conekng yang tidak menggunakan mantra, hanya menggunakan paribuh-paribuh. Ritualnya dilakukan secara khusus. Dilaksanakan malam Jumat. Tidak boleh malam lain.”
“Ah..hal mistis, memang tak jauh-jauh dari malam Jumat. Bagaikan malam keramat,” batinku. Nek Usu menoleh ke arahku seakan tau pikiranku.
“Ngahe harus malam Jumat, nek?” Aku bertanya mengapa ritualnya harus malam Jumat.
“Nia bapangaruh ka’ kasiat conekng. Kade malam lain, Awa Pama man Jubata bai atakng manto. Nana nyiupm ia ka’ kamayan nang diri nunu.” Terang Kakek sambil memperlihatkan kemeyan. Kekek menjelaskan bahwa ini berpengaru pada kasiat conekng karena jika malam lain, rohleluhur dan Jubata(Tuhan) tak mau dating menolong. Mereka tak dapat mencium bau kemeyan yang dibakar.
Salah satu riyusl conekng yang kutahu dari Nek Usu adalah conekng ai’ mata uap. Uap adalah sejenis burung hantu (Eurasian eagle-owl) yang dalam Bahasa Indonesia disebut burung pungguk. Wah..wah… air matanya bisa dijadikan pelet? Padahal Dato’ Mohd Nazry Abdul Rahim pernah mempublikasikan di http://berita.perak.gov.my/, kalau burung pungguk itu justru bisa diberdayakan untuk memusnahkan tikus di ladang. Hmm, lucu juga ya?
Ritual conekng ai’ mata uap dilaksanakan tepat malam Jumat. Tak berlaku untuk malam-malam lain. Beberapa sub suku masyarakat Dayak maupun Melayu percaya saat bulan purnama burung itu menangis. Nah, jika malam purnama terjadi pada malam Jumat inilah panyonekng beraksi.
“Uap…uap…uap…” begitu kira-kira bunyi burung itu. Beda dengan sepupunya burung hantu yang berbunyi “Uk…uk..uk!
Wih… merinding jadinya bulu kuduk. Kubelai tengkukku yang terasa sejuk seakan ada yang menegurku.
“Bayangkan saja jika kita mendengarkan tangisan burung ini di tengah hutan, sendiri pula.,” pikirku dalam hati.
Bagaimana cara panyonekng beraksi? Biasanya mulai dari mengambil sarang burung uap yang basah. Dipercaya sarang itu basah karena air mata burung tadi yang menurut legenda, dia selalu menangis karena terkenang pada bulan kekasihnya. Anda pasti ingat dengan pepatah lama yang berbunyi, “like the owl calling the moon (bagai pungguk merindukan bulan)”. Lantas sarang itu dibakar sampai menjadi arang.
“Urakng nang kana conekng kalakuannya ampir sama man burukng nia. Kaja ngeak kade’ dah takanang ka’ urakng nang nyonekng ia,” kata Nek usu ketika itu. Maksudnya orang yang terkena conekng kelakuannya hampir sama dengan burung pungguk. Sering menangis saat teringat pada orang yang memberinya conekng.
Arang dari sarang ini kemudian dicampur minyak kalapa ijo. Minyak ini terbuat dari daging kelapa hijau yang diparut, diperas dan diambil sarinya lalu disaring. Air hasil saringan direbus sampai kering dan menyisakan minyak. Minyak inilah yang disebut minyak kalapa ijo.
Arang dan minyak yang sudah dicampur tadi kemudian disaring. Hasil saringannya dimasukan ke dalam botol lalu disau’ (mengelilingkan botolnya di atas asap pembakaran kemeyan) sampai minyak tadi berbuih. Setelah itu masukkan jarum dan kapas ke dalam botol berisi minyak tadi. Minyak inilah yang dioleskan pada alis mata panyonekng dengan menggunakan jari manis. Keesokan harinya, jika betemu dengan sang pujaan hati (target), panyonekng tinggal menagngkat alisnya atau mengedipkan mata kea rah yang menjadi target. Saat beraksi, harus dipastikan mata panyonekng menatap tepat di mata sasaran. Jika memang tokcer, gadis atau pria yang menjadi sasaran pasti langsung jatuh hati dan tergila-gila pada panyonekng.
Tak selesai sampai di situ saja.panyonekng harus melingkarkan tangannya pada pinggang orang yang menjadi objek sambil menyentuhkan jari manisnya ke tulang rusuk sebelah kiri target. Konon, dengan teknik tambahan ini objek akan semakin tergila-gila, lengket seperti perangko dalam jangka waktu yang lama bahkan bisa seumur hidup. Syaratnya anda sanggup tak melanggar pantangan.
Selain conekng ai’ mata uap, ada lagi conekng yang menggunakan mantra.
Menurut dukun paboreatn lain, Pak Andang, conekng yang menggunakan mantra lebih sederhana. Seperti Nek Usu, Pak Andang juga dukun paboretn yang kesohor di seantero Sungai Ambawang, khususnya di desa Lingga, Korek, dan Pancaroba. Tahun ini mungkin usianya sudah 70 tahun.
“Panyonekng harus ngalit buuk kakasihnya koa. Kade dah namu buuk koa, pada malam Jumat panyonekng nunu buuk koa ka’ atas patunuan kamayan sampe jadi abu. Sambil maca mantra. Kade batamu man kakasih nang dibarea conekng tadi, tolesatn abu tadi ka’ kaaning ka’ atara dua bege’ matanya. Tagah panyonekng dari, pakoa ugak ia naringatatnnya… Pantangan panyonekng nana mulih makatni kulat putih…” urainya suatu hari.
Pak Andang menjelaskan bahwa Panyonekng harus mencuri rambut kekasihnya itu. Kalau sudah dapat rambutnya, pada malam Jumatnya, panyonekng membakar rambut itu ke atas api pembakaran kemeyan sampai menjadi abu sambil membaca mantra. Jika bertemu dengan kekasih yang mau dipelet, toleskan saja di kening antara kedua mata target. Setelah panyonekng pergi, maka ia akan terkenang. Pantangan panyonekng tak boleh makan kulat putih.
Ia juga menyontohkan mantraconekng tersebut.
Bismilah tanah ai’ bare aku sarupa langit man Allah
Kambang tujuh rupa nyingah ka’ aku
Cahaya malimpah ka’ muhaku
Tancapatn rusukku ka’ati kakasih
Sihingga takanan’, takangang ka’ muhaku
Barakat aku make cahaya langit
Barakat aku make cahaya Allah
Barakat aku make cahaya pangasih
Makin saari makin nganang aku
Makin sabulatn makin ngeaki’ aku
Makin satahutn makin kasih ka’ aku
Barakat aku make cahaya langit
Barakat aku make cahaya Allah
Bismilah…
***
Di luar gerimis mereda.
Namun biasnya serasa menikam tulang. Aku menghentikan cerita. De terpaku di sebelahku, hanyut dalam malam yang kian larut.
Aku bangkit dari tempat duduk dan mengambi dua gelas air putih. Kulirik De yang masih menanti sebuah jawaban dariku.
“Lalu bagaimana menghilangkan conekngnya?” di bawah remang lampu beranda, matanya tampak berkacaa-kaca dan memelas.
Aku menyerumput minuman. Membasahi kerongkongan
Ah, kasihan juga aku membuat ia menunggu. Aku ingat kalimat Nek Usu waktu itu, lalu kusampaikan kepada De.
“Pertama, mandi kembang di bawah tangga beranda rumah. Satu oranng mebnyiramkan air kembang (bunga tujuh rupa) di atas kepalamu. Ramuannya bunga melati, daun selasih, daun sirih, buah langir, dan jeruk purut ditambah 2 jenis bung lain. Kedua, merunduk bolak-balik tujuh kali di bawah jemuran. Dijamin, pengaruh conekngnya hilang. Coba aja!”
Tapi, terus terang aku sendiri tak begitu yakin. Aku juga bukan cenayag atau para normal yang bisa menyembuhkan.
Syukurlah De tampak puas. Senyumnya mengembang menghias wajah.
“Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan berhasil melenyapkan pengaruh conekng yang bersarang dalam tubuhku ini,”
“Kau yakin?” tanyaku.
De mengaangguk. Aku tersenyum kelu sebelum kami berpisah.
***
Tiga hari kemudian De dating lagi menemuiku dengan wajah pucat. Tampangnya lebih kusut dari kemarin, lelah karena semalaman tak tidur lantaran teringat lelaki itu. Saking tak kuatnya, De sampai tersedu-sedu. Nasibnya benar-benar mirip pungguk merindukan bulan hari itu.
“Kemarin aku mandi kembang di bawah tangga rumahku, merunduk bolak-balik tujuh kali di bawah jemuran, panas-panas pula. Bahkan sudah tiga kali diulang. Tapi tetap saja wajah lelaki itu tak mau lenyap. Bahkan perasaan ini semakin kuat, pengaruh conekng itu belum juga hilang…,” keluhnya.
Keningku kembali mengkerut. Walau tak gatal, tak sadar aku menggaruk-garuk kepalaku. Hamper saja tawaku meledak.
Terus terang sulit membedakan antara kasmaran akibat conekng dengan jatuh cinta benaran.
Tapi, De tiba-tiba bangkit. Aku terkaget-kaget. Ia seperti burung dara yang menemukan cara lolos dari sangkar.
“Sebentar…,” katanya.
“Apa?” Tanyaku agak kaget.
“Aku belum coba cara terakhir.”
Aku melotot, “Apa itu?”
“Pantangan panyonekng adalah memakan kulat putih. Besok aku akan menemuinya dan memaksa ia makan kulat itu.”
De bergegas pergi, meninggalkanku yang terbengong sendirian hingga tak mampu mengedipkan mata.
***
Lingga, 9 juli 2007
(Kegiatan latihan jurnalistik mahasiswa Sungai Ambawang oleh redaksi Borneo Tribun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar