Halaman

Minggu, 27 Maret 2011

Ghost or Angel?

Ghost or Angel?
Oleh: Agustin Flaviyana

 Angel. Sosok malaikat sempurna bagiku. Sebuah karya imajinatif bagi pencinta sastra. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku saat ini untuk menggambarkan sosoknya yang tak pernah kuketahui. Sahabat karib tanpa rupa. Aku berkomunikasi dengannya melalui tulisan. Dia bukan sahabat penaku, tetapi sahabat cattingku. Suatu saat aku mencari teman melalui internet, perkenalanku disambut ringan oleh seorang gadis bernama Angel. “Farel,” aku menuliskan namaku sebagai awal perkenalan. “Angel,” ia balas menuliskan namanya sebagai tanda sambutan pertemanan. Begitulah awal perkenalanku dengan Angel. Sudah setahun berlalu, kami masih menjadi sahabat. Besar keinginanku untuk menjumpainya, namun Anggel selalu mengatakan, “Tak bisa, Rel. Jarak kita begitu jauh untuk ditempuh.” aku selalu bertanya, “Di mana kau tinggal, sahabat?” Ia selalu menjawab dengan kalimat yang sama, “Suatu saat kau pasti akan tau.” Akhirnya, aku tak pernah menyinggung masalah itu lagi.

Di sekolah saat istirahat siang, aku lebih memilih bermain dengan Angel di internet. Pengetahuan Angel yang luas sangat membantuku mengurangi kelemahan otakku dalam pelajaran sekolah. Kadang aku berpikir mungkin saja Angel ini seorang ilmuwan yang sengaja bercatting dengan otak manusia yang kurang sebagai penyelamat.

Kemarin bu Vie, guru Bahasa Indonesiaku, menyajikan sebuah puisi di white board. Katanya, “Perhatikkan puisi ini!”

“Itu bukan puisi, tapi pantun” Sahutku dengan lantang. Seisi kelas mentertawakanku. “Huuu.., Nigau!” ejek Mundo yang duduk di deretan belakang kursiku. Jims, teman sebangkuku juga mulai melepaskan tawanya untuk kebodohanku.

“Rel, pantun juga termasuk jenis puisi, namun masih tergolong ke dalam puisi lama,” terang bu Vie padaku. Jims semakin tertawa lebar. Bu Vie menenangkan kelas, “Semuanya diam! Farel benar, orang lebih mengenal ini sebagai pantun,” lanjut bu Vie. Terang saja aku tak tau, minggu lalu aku absent saat materi ini dibahas.
Mudah-mudahan bel istirahat cepat berbunyi, pikirku. Aku ingin cepat-cepat bermain dengan Angel dan menceritakan kekonyolan yang baru saja aku alami. Tanpa Mundo dan Jims! Bel istitahat berbunyi tiga puluh menit setelah bu Vie memberikan 20 soal tentang puisi lama. Aku mendapatkan nilai di bawah rata-rata dengan sukses. Lagi-lagi mereka mentertawakanku. Trima kasih atas pujian yang tak layak disebut terhormat!

Aku mengurungkan untuk menghubungi Angel saat istirahat. Kutunggu sepulang sekolah setelah otakku kembali mencair. “Kau hebat Rel. Tak mengalah pada keadaan!” kataku menghibur diri sambil melayangkan senyum basi kepada Mundo dan Jims.

Aku pulang ke rumah dengan wajah mengkerut. Kuhindarkan wajahku dari tatapan mama. “Sudah pulang? Tentu hari ini sangat melelahkan,” sapa mama. Aku hanya tersenyum kemudian berlari menuju kamarku dan duduk di depan computer. Sambil menunggu sambungan ke internet, aku melepas ranselku dan melemparkannya ke tempat tidur sambil sedikit kurebahkan tubuhku.

“Hai, Rel!” sapa Agel.

“Aku payah hari ini. Aku tak bisa menjawab soal tentang puisi lama. Mereka mentertawakanku, Angel. Sungguh konyol kejadian tadi.” balasku diawali dengan cerita kekonyolan.

“Puisi lama adalah puisi yang sifatnya masih asli dan belum mendapat pengaruh dari barat. Puisi lama ini meliputi mantra, pantun, syair, bidal, dan talibun.” Angel mulai menjelaskan padaku.

“Bagaimana membedakannya dengan puisi sekarang? “

“Susunan puisi lama terikat oleh aturan-aturan baku, seperti bait, banyaknya baris, suku kata, dan persamaan bunyi. Puisi ini digolongkan ke dalam puisi klasik.” Penjelasan Angel ini lebih mudah kumengerti.
Minggu berikutnya, ketika ulangan Bahasa Indonesia tentang puisi lama hanya aku yang mendapat nilai seratus. Sejak saat itu seisi kelas tidak lagi menganggap aku bodoh. Berkat Angelku, malaikatku yang sempurna.

“Kau malaikat paling sempurna, Angel. Sahabatku. I Love U friend,” pujian ini selalu kulayangkan padanya.

“Aku ini tak sempurna, Rel!” selalu juga jawabannya demikian.
Keinginan yang dulu terpendam kini muncul kembali. Semakin kuat keinginanku untuk melihat wujud malaikatku. Setelah cukup lama kami ngobrol di internet, aku menemukan waktu yang pas untuk mengatakan ini,
“Mau kah kau mengirimkan fotomu padaku? Walaupun kita tak dapat bertemu, aku rasa foto dapat mewakili pertemuan kita. Fotoku juga akan kukirimkan padamu, Agel.” Aku menunggu jawabannya. Namun ia tak menjawab.

Aku mengirimkan fotoku pada Angel melalui email. Aku meminta Angel untuk segera mengirimkan fotonya. Dalam fotoku, aku berfose mengenakan topi. Menurutku, ini foto terbaikku. Angel pasti menyukainya.
Aku menunggu Angel balas mengirimkan fotonya. Setiap hari ketika sedang mengobrol dengannya, aku selalu bertanya apakah Angel sudah menerima kiriman fotoku. Hari ketiga, Angel berkata, “Fotomu sudah kuterima, Rel. kau terlihat tampan mengenakan topi itu. Trims.”

“Syukurlah. Berarti tak lama lagi aku akan menerima kiriman fotomu.” Sudah lewat beberapa minggu, foto Angel belum juga kuterima. Setiap kali aku menanyakannya, ia selalu mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain. Sampai akhirnya chating diakhiri dengan kalimat penutup darinya.
Suatu hari aku berkata, “Fotomu belum kuterima, kau bisa mengirimkannyalagi,” namun tak ada jawaban darinya.

Aneh sekali Angel. Seolah-olah tak ingin dirinya kuketahui. Telah lewat beberapa minggu, tetapi belum juga mengirimkan fotonya.Berkomentar tentang masalah itu pun tak pernah. Akhirnya, aku melupakan perihal foto itu. Capek juga rasanya menagih tanpa respon.
* * *

Sepulang sekolah aku langsung menyapa Angel. Tak ingat lagi aku dengan perutku yang tadi keroncongan. Kami mengobrol tentang film horror yang baru tayang di bioskop. Sedang hangat dibicarakan. Judulnya

“Ghost”. Film yang menceritkan tentang persahabatan antara manusia dan hantu. Persahabatan mereka diawali ketika Jay , si tokoh manusia mencari teman diinternet melalui friendstar dan chatting.

“Jay,” Jay menyebutkan namanya sebagai awal perkenalan. “Caroline”balas gadis itu. Caroline memperkenalkan diri sebagai gadis biasa yang tinggal sendirian di hutan Black. Hutan yang dikenal penuh dengan misteri. Konon kabarnya jaman dahulu daerah itu bekas kerajaan. Jay menganggap itu hanya lelucon, namun Caroline selalu berusaha untuk meyakinkan. Ia mengirimkan foto yang berisi keadaan hutan itu. Tampak terlihat gelap dan berkabut. Terlihat olehnya sebuah rumah tua yang megah dan antik.

“Mengapa kau kirimkan gambar ini tanpa fosemu?”

“Itulah rumahku, Jay. Kau akan temukan aku di sana.” Jay semakin penasaran. Caroline selalu saja menolak jika Jay meminta untuk mengirimkan fotonya. Jay semakin penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi hutan itu.

Rumah itu begitu tua, tetapi megah dan kokoh. Berbeda sekali dengan keadaan luar yang terlihat gelap dan sepi. Tak heran orang-orang menganggap hutan itu angker.
Jay masuk ke dalam. Ia terpukau melihat keadaan rumah yang begitu indah. Ditatapnya foto-foto seorang gadis cantik berpakaian kerajaan. Di salah satu foto terukir tulisan Princes.

Semenjak mendatangi rumah itu, Jay sering mengalami keanehan. Ia kerap bermimpi bertemu dengan gadis difoto itu. Mimpi yang sama tiap malam, ia bermimpi gadis itu memintanya untuk datang kembali ke rumah tua itu. Situasi rumah tua dalam mimpinya sangat berbeda sekali dengan yang ia lihat. Dalam mimpinya, penghuni di rumah itu begitu ramai. Berjuta pertanyaan di benak Jay.“Siapa kau sebenarnya, Carol? Keanehan menimpaku setelah mendatangi rumahmu. Kau ke mana ketika aku di sana? Siapa gadis di foto itu?”

“Jay, kembalilah ke rumah itu! Selamatkan aku! Hancurkan ubin yang ada di bawah lemari kaca itu,kemudian gali tanah itu sedalam-dalamnya. Kau akan menemukan jawabannya.” hanya ini kalimat balasan dari Caroline.

“Apa maksudmu? Apa kau dalam bahaya?” Jay merasa khawatir. Tak ada jawaban dari Caroline. Jay tak lagi mengganggap ini lelucon. Keesokan harinya, Jay dan serombongan aparat kepolisian menghancurkan ubin yang ada di bawah lemari kaca dan menggali tanahnya. Mereka menemukan tengkorak dan kerangka manusia. Jasad Caroline.

“Bagaimana kelanjutan parsahabatan mereka setelah Jay mengetahui siapa sebenarnya Caroline?” Pertanyaan itu dituliskan Angel.

“Jay harus menerima kenyataan bahwa ia akan kehilangan sahabat karibnya di internet. Sejak saat itu, Jay tak dapat lagi menghubungi Caroline, namun Jay merasa yakin bahwa Caroline sudah tenang di alamnya.”
Angel terdiam mendengarkan ceritaku. Aku bertanya, “Apa kau percaya bahwa ada kehidupan lain? Bagaimana kalau di dunia ini benar-benar ada hantu? Aku takut pada hantu, Angel. Bagiku ini mengerikan. Bagaimana denganmu?”

“Aku lebih mengerikan dari hantu itu, Rel. Apa kau masih akan takut padaku?” Aku terperangah. Ia mulai mengirimkan leluconnya.

“Apa maksudmu, kawan?” aku balik bertanya. Kutunggu jawaban dari Angel, namun tak ada jawaban. Angel meninggalkanku tanpa kalimat penutup. Aku menutup layanan internetku.
Selama pelajaran berlangsung, pikiranku terus pada Angel. Aku merasa bersalah telah menakut-nakutinya. Mungkin Angel ketakutan mendengar ceritaku kemarin. Apa Angel marah padaku?
Sepulang sekolah aku langsung menyapa Angel di internet, “Hai, Angel! Maaf, jika kemarin aku menceritakan hal-hal aneh. Itu hanya intermezzo. Aku harap kau tak marah padaku.” Aku berharap kali ini Angel mau membalas pesanku. Lama aku menunggu. Beberapa menit kemudian, Angel mengirimkan balasannya.

“Apa kau bisa menyimpan rahasia?” Balas Angel. Aku merasa bingung dengan pertanyaannya.
Agak sedikit ragu aku menjawab.

“Ya, Angel.”

“Janji? Ini penting sekali mengenai aku.” Kalimat Angel semakin membuat aku penasaran.

“Aku janji.”

“Rel, aku ini hantu. Lebih menyeramkan dari wujud Caroline dalam ceritamu itu. Itu sebabnya aku tak bisa mengirimkan fotoku. Medan energiku tak bisa ditangkap oleh film.”
Aku terpaku memandangi layar komputerku. Sungguh sulit dipercaya. Ini pasti salah satu lelucon Angel. Ia sering sekali menjebakku dalam leluconnya. Tapi kenapa aku merasa kali ini berbeda? Mungkinkah aku mengalami kejadian yang sama dengan Jay dalam film Ghost? Ini dunia nyata, Rel, pikirku.

“Ha...ha..,aku bisa merasakan keteganganmu. Apa kau percaya?I’m Just Kidding.”
Tiba-tiba saja mama mendekap bahuku. Aku terperanjat dari kursiku. Mama mengajak aku makan malam, tetapi akhirnya Angellah yang lebih dulu mengundurkan diri, sementara aku masih terpaku sendiri.
Apa ini salah satu lelucon, Angel? Inikah sebabnya ia tak bersedia mengirimkan fotonya? Inikah sebabnya ia lebih banyak tau dari anak-anak lainnya? Kenapa dia begitu penuh rahasia?
Saat makan malam Ayah berkata, “Ada kabar bagus. Permintaan papa untuk dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta sudah disetujui. Kita akan pindah ke sana pada akhir bulan ini. Perusahaan sudah menyiapkan rumah sewa yang bagus untuk kita. Lokasi rumah itu dekat dengan sekolah yang terbaik, sekolahmu nanti, Rel.” Ibuku begitu bersemangat mendengar kabar itu. Tak henti-hentinya ia tersenyum. Aku tak menanggapi kabar itu. Aku tak tau apa yang kurasakan. Apakah harus senang atau sedih?
Malam itu aku tak bisa tidur. Pikiranku bercampur aduk. Memikirkan Angel, teman chattingku; hantu; dan rumah baru. Aku ingat bagaimana sulitnya beradaptasi dengan lingkungan baru.
Aku pernah merasakannya hampir tiga tahun sekali. Kami hidup nomaden, selalu berpindah-pindah tempat. Ke mana ayahku ditugaskan, di situ juga kami tinggal. Kembali kuingat ketika pertama kali pindah di sini. Susah sekali mendapat teman. Hingga sekarang aku masih kesulitan. Mereka semua memandangiku pada hari pertama, membuat aku salah tingkah. Mereka memperlakukanku dengan asing. Inilah yang ada dalam pikiranku sebelum tidur. Masalah Angel kembali menghantuiku. Tak mungkin Angel itu hantu. Bukankah ia menyukai bunga matahari. Ia selalu bercerita mengenai tamannya yang dipenuhi dengan bunga matahari yang indah. Hantu tak kan menyukai bunga, pikirku dalam hati.
Keesokan paginya, aku duduk di meja makan sambil makan sereal yang disiapkan mama. Mama sedang menonton TV. Seorang pembawa berita sedang mewawancarai seorang ibu muda.

“Bisa Anda ceritakan tentang peran internet dalam kehidupan Angel?” Tanya pembawa acara. Aku terkejut mendengar nama Angel disebut. Walau belum tentu itu Angel, sahabatku. Namun, cukup membuatku penasaran.

“Internet telah memberikan kebebasan yang sudah lama tak dirasakan Angel. Wawasan yang luas dapat ia peroleh di internet. Dia bukan saja bisa mendapat informasi melalui internet di kursi rodanya, tetapi yang paling penting Angel mempunyai banyak teman.”
Si pembawa berita meneruskan pertanyaan, “Ceritakan tentang teman-temanmu di internet, Angel!” kamera beralih pada seorang gadis yang duduk di depan komputernya. Tubuhnya kurus seperti mengkerut. Kepalanya miring ke satu sisi dan ketika ia menjawab, kata-katanya begitu sulit dimengerti. Ia mesti bersusah payah mengucapkannya dan di sudut mulutnya mengalir liur. Sesungguhnya, wajahnya cantik seperti malaikat. Polos apa adanya.

“Orang lain melihat aku berbeda dari mereka. Sulit bagiku untuk berbicara dan dimengerti, tetapi melalui internet aku lebih mudah berkomunikasi dengan mereka. Mereka mengira aku gadis biasa sebab mereka tak mengetahui wujudku. Aku rasa persahabatan tanpa mengenal wujud lebih tulus. Persahabatan yang berarti adalah ketika kita dapat memberikan sesuatu yang berarti dan baik buat sahabat. Aku berteman dengan banyak orang.” Angel menjelaskan dengan kalimat yang terbata-bata. Gadis itu tersenyum di depan kamera. Bibirnya terlihat kaku, mungkin karna itu ia tak dapat berbicara dengan lancar.

“Ini disebabkan karena struk” jelas Ibunya.
Aku menatap langit-langit kelas. Pikiranku dipenuhi dengan berbagai hal: Angel, teman di internetku; si hantu; Angel di TV; pindah rumah.
Tiba-tiba Jims datang dan mengagetkanku.

“Hai, Rel! aku dengar kau akan pindah.” Jims duduk disampingku. Aku tersenyum dan mengangguk.

“Maaf, friend, selama ini aku sering meledekmu.”

“Tak masalah, kawan,” sahutku sambil menepuk bahunya. Kami semua berpelukan seperti teletubis.
Kenapa semuanya bersikap baik setelah mengetahui kabar kepindahanku? Mungkin, merekapun akan merasa kehilangan aku.

Setiba di rumah, aku langsung berlari menuju kamar. Tak kuhiraukan mama yang sempat menyapa. Kulemparkan ranselku di atas tempat tidur. Aku merebahkan tubuhku sambil menunggu sambungan ke internet.

“Hai, Angel! Apa kabarmu?” aku berharap Angel segera membalasnya. Sudah tiga jam berlalu. Tak ada jawaban darinya.

Aku memutuskan bahwa tidak masalah dari mana Angel berasal, entah dari saturnus, mars, hutan black ataupun Jakarta. Tidak masalah seperti apa rupa Angel. Angel tetap malaikat paling sempurna di hatiku. Sahabat terbaikku di sepanjang masa, di mana pun aku barada. Kututup layanan internetku.

Aku kembali menghubungi Angel.

“Angel, kami akan pindah ke Jakarta. Wah, aku senang punya sahabat yang bisa ikut denganku ke mana pun aku pergi. Angel, kau tetap malaikatku yang paling sempurna. Tak peduli bagaimana wujudmu. Kita tetap sahabat. I love U Angel.”

Kali ini aku mendapat balasan dari Angel. Kalimat yang cukup membuat aku merasa bahagia dan yakin akan kekuatan persahabatan kami.

“I Love U too Farel”

Demikian seterusnya. Aku dan Angel tetap menjadi sahabat. Sahabat di internet. Sampai saat ini aku belum juga mengetahui keberadaannya dan wujud sebenarnya. “Angel, apakah kau temanku di internet? Hantu? Atau Angel dalam TV? “ Semua pertanyaan itu hanya terbenam dalam hatiku.
Seminggu setelah kepindahanku, aku mendapat kiriman foto melalui email, tanpa identitas.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar